Jumat, 26 Februari 2016

"Hidup untuk makan" ataukah "Makan untuk hidup"

Oleh: Supangat Abdurrafi

Ada orang yang berprinsip "Nikmatilah apa yang anda bisa nikmati, selagi ada". Orang seperti ini sangat konsumtif. Ia sangat senang untuk pergi makan di tempat-tempat yang mahal, selagi punya uangnya. Ia pun sangat senang mengajak anak-anaknya untuk makan di tempat yang mahal, berganti-ganti tempat, meskipun uangnya pas-pasan. Ia berprinsip, setidaknya pernah merasakan makan di tempat begitu, sehingga ketika ada orang bercerita mengenai makanan di tempat begitu ia pun tidak asing, dan merasa bisa mengimbangi. Bukan hanya makanan dan tempat makan, ia pun melalukan begitu untuk tempat-tempat wisata. Itu ia ajarkan pula ke anak-anaknya, supaya anak-anaknya tidak dianggap "kuper" ( kurang pergaulan ). Dengan demikian ia merasa tidak kalah dengan orang-orang kaya yang uangnya berlimpah. Meskipun ada perbedaan yang sangat jelas, karena orang-orang kaya itu uangnya berlimpah, sedangkan ia ( orang model ini ) biasanya saldo tabungannya dekat-dekat dengan saldo minimal.

Hati-hatilah dengan prinsip seperti itu. Karena, ketika anda mulai menggunakan prinsip itu, maka hal itu juga akan mulai tertanam ke alam bawah sadar anda. Anda akan cenderung membelanjakan uang anda ketika ada uang di tangan. Ketika tidak ada uang di tangan, bisa jadi pikiran anda akan melayang, mencari-cari, "Siapa nih yang bisa nraktir jalan-jalan / makan-makan." Anda akan menjadi sangat konsumtif. Dan itu akan menjadi karakter, bisa terbawa sampai tua.

Saya mempunyai cerita yang lain lagi. Ada teman saya, kalau ke kantor biasanya membawa bekal untuk makan siang. Saya sering berdiskusi dengan beliau. Usianya lumayan di atas saya, dan saya juga menganggap beliau sebagai guru saya; guru kehidupan. Pengalaman hidupnya yang banyak, karakternya yang bagus, membuat saya bisa memetik banyak pelajaran dari beliau. Satu catatan sederhana mengenai beliau adalah bahwa beliau suka berhemat. Beliau kalau makan tidak pernah serakah. Beliau pernah bilang kepada saya, mengapa beliau suka berhemat. Katanya, dengan berhemat berarti kita bisa mempunyai sisa. Kalau kita punya sisa, berarti kita bisa membantu orang lain. Dari sisa-sisa penghematan kita, lama-lama akan terkumpul, dan mungkin suatu hari akan ada yang membutuhkan. Paling tidak ya keluarga sendiri, mungkin anak kita, atau mungkin juga cucu kita. Sungguh sangat mengharukan.

Kedua karakter di atas adalah nyata. Kita bisa menjumpai keduanya di lingkungan kita. Kalau anda amati teman-teman anda, atau orang-orang dekat anda, saya yakin anda akan menemukan bahwa keduanya itu ada.

Kalau kita menggunakan perumpamaan, saya mengumpamakan yang model pertama itu seperti "Hidup untuk makan", dan yang model kedua itu "Makan untuk hidup".

Nah, saya tidak tahu, anda termasuk yang mana, atau mirip yang mana. Namun kalau saya yang memberikan penilaian, maka saya katakan bahwa yang kedua adalah yang lebih bagus. Jadi kalau ada yang masih lebih dekat dengan model pertama, ada baiknya segera bergeser ke model yang kedua. Anda tidak akan terhina hanya karena berhemat. Harga diri anda tidak akan jatuh hanya karena menjadi pendengar yang baik saat teman-teman anda bercerita mengenai liburan mereka. Dan, paling tidak, anda sudah termasuk golongan yang peduli dengan orang lain. ***